NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH
BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973
Senin, 14 November 2011
Madrasah, Menanti Fajar Menyingsing (bag. 3)
dengan satu komentar
Menurut Firdaus, beasiswa S2 yang kini berjalan hanya pada 15 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Guru mata pelajaran umum; matematika, fisika,biologi, kimia, dan bahasa Inggris, ditampung di IPB, ITB, UGM, ITS, UI, UNM, UPI. Sedang guru mata pelajaran agama ditempatkan di UIN Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Makasar, IAIN Surabaya, dan Semarang.
Bagi 675 guru yang kini sedang menjalani studi S2 di beberapa perguruan tinggi di atas, Depag menanggung seluruh biaya pendidikan dan insentif living cost 1.250 ribu per bulan. Firdaus mencontohkan, seorang guru fisika yang mengikuti program S2 jurusan fisika di ITB akan sangat bangga dan percaya percaya diri bila kembali ke madrasahnya. Tentu apa yang dikatakan Direktur Madrasah ini belum seberapa bila dibanding kebutuhan di lapangan. Bahrul Hayat, Sekjend Depag saat ini, pernah mengungkapkan di depan DPR bahwa madrasah-madrasah yang berstatus swasta (91,5%) ini dirundung berbagai kekurangan, antara lain sarana, prasarana maupun guru-guru yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran di madrasah sebagian besar dilaksanakan oleh guru-guru honorer (non PNS) dengan kualifikasi pendidikan rata-rata di bawah S1 dan mengajar bidang studi yang kurang/tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Jumlah guru non-PNS yang bertugas di berbagai jenjang madrasah seluruhnya sebanyak 532.215 yang terdiri dari, guru kontrak sebanyak 16.044, guru yayasan sebanyak 312.890, dan guru BP3/Komite madrasah sebanyak 103.281. Sedangkan jumlah guru madrasah berdasarkan kualifikasi pendidikan sebanyak 150.719 tingkat SLTA ke bawah (30,41%), 23.222 tingkat D1 (7,49%), 100.908 tingkat D2 (16,06%, 57.163 tingkat D3 (9,10%), dan 232.215 tingkat S1 (36.95%).
Menurut Bahrul Hayat, kekurangan guru tahun 2006 untuk MTs sebanyak 11.886 guru yang didominasi oleh guru-guru untuk bidang studi Bahasa Indonesia sebanyak 1.129 orang, Matematika (347), Bahasa Arab (5.022), Muatan Lokal (6.253), Bimbingan dan Penyuluhan (11.641). Dalam kesempatan itu, Bahrul Hayat juga mengingatkan masih adanya perlakuan beberapa pemerintah daerah yang berbeda terhadap guru madrasah dan guru pendidikan agama di sekolah dalam memberikan tunjangan/insentif bagi guru, baik negeri maupun swasta.
Lebih dari itu, kompetensi kepala madrasah juga tak bisa dikesampingkan begitu saja. Drs Mahfudh Djunaidi MA, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang menengarai maju mundurnya madrasah sepenuhnya tergantung pada penyelenggara pendidikan madrasah. Utamanya kepala madrasah sebagai pemimpin tertingginya. Jika madrasah dipimpin oleh seorang kepala yang berkompeten dan profesional, niscaya madrasah akan maju. Sebaliknya, jika madrasah dipimpin kepala yang tidak berkualitas, tidak memiliki kompetensi dan tidak profesional, niscaya madrasah akan selalu dalam ketidakberdayaan dan kalah dalam persaingan antarlembaga pendidikan yang kian bertambah ketat.
Pertama, perihal manajemen. Dalam konteks ini kemampuan kepala madrasah masih jauh dari harapan. Mayoritas mereka masih belum cakap dan terampil dalam pengelolaan pendidikan. Jelasnya, mereka kurang paham perihal manajemen kurikulum, manajemen keuangan sekolah, manajemen administrasi sekolah, dan lain-lain.
Kedua, perihal kurikulum. Mayoritas kepala madrasah dalam penguasaan kurikulum juga masih amatir. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak paham hakikat kurikulum dan pengembangannya. Mereka tidak berkemampuan mengarahkan tenaga pendidik untuk menyusun rencana dan program pelaksanaan kurikulum. Mereka pun tidak memiliki kompetensi dalam pengidentifikasian kebutuhan dan pengembangan kurikulum terutama yang lokal. Di antara mereka bahkan tidak berkemampuan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum. Karena itu, sekarang banyak kepala madrasah yang tidak paham tentang kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Ketiga, perihal kemampuan berkreasi dan berinovasi. Kemampuan berkreasi dan berinovasi kepala madrasah pada umumnya jauh dari kepala sekolah umum. Kemampuannya bahkan jauh dari memadai. Sulit kita temukan kepala madrasah yang berdaya kreasi dan inovasi tinggi dalam pengembangan madrasah, baik dalam pengembangan kurikulum, penggalian dana, maupun perlengkapan sarana dan prasarana madrasah. Rata-rata para kepala madrasah kurang giat mencari terobosan-terobosan baru.
Itulah potret realitas kualitas kepala madrasah. Menurut Mahfudh, demi kemajuan madrasah, Depag harus proaktif dan responsif dengan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus bagi kepala madrasah dan sebagainya. Dan bila seorang kepala madrasah tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan kompetensi, demi kemajuan madrasah, selayaknya diganti oleh figur lain yang lebih cerdas, profesional dan kompeten.
Demikianlah centang perenang persoalan yang menjerat lembaga pendidikan berciri khas Islam ini. Firdaus Basyuni mengungkapkan bahwa madrasah dibangun oleh masyarakat dengan semangat saja, supaya mereka bisa menyekolahkan anaknya dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Karena itu, biarpun muridnya sedikit jarang madrasah yang gulung tikar. Karena biaya yang rendah sehingga susah mendapatkan guru yang berkualitas.
Jadi masyarakat berpikir, bagaimana anak mereka bisa bersekolah. Yang mengajar kalaupun tidak ada yang sarjana, siapapaun boleh. Yang penting proses belajar mengajar berjalan.
Tapi mungkin setelah mengajar guru tersebut harus bekerja di tempat lain untuk bisa menutupi kebutuhan ekonomi mereka. Melihat kenyataan seperti itu, menurut Firdaus kita sebenarnya tidak perlu cemas. Biarpun tanpa bantuan dan honor seadanya saja madrasah tetap bisa survive, sehingga bila mereka mendapatkan “sentuhan” atau sedikit bantuan saja pasti semangat mereka akan jauh lebih maju.
Firdaus saat ini tengah berpikir, bagaimana madrasah bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun semangat dan partisipasi masyarakatnya tetap tak terkurangi. Hingga akhirnya, madrasah makin menyinari masyarakat di sekitarnya.[]
MADRASAH DAN ISLAM DI INDONESIA : Sebuah Kajian Awal (bagian 2)
tinggalkan komentar »
Dengan demikian, abad ke-17 bisa disebut sebagai masa mulai berdirinya lembaga pendidikan Islam yang dalam beberapa hal penting merupakan cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam madrasah. Pada masa kerajaan Aceh, khususnya sejak masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, telah berdiri lembaga pendidikan meunasah (kemungkinan berasal dari kata bahasa Arab; “madrasah”), rangkang dan dayah. Meunasah (atau binasah) awalnya merupakan tempat ibadat yang sekaligus digunakan untuk pengajian anak-anak, khususnya belajar membaca al-Qur’an dan ajaran dasar Islam. Dari meunasah ini, mereka yang akan melanjutkan belajar Islam pergi ke rangkang, yang lebih besar dai meunasah, dan selanjutnya ke dayah. Lembaga pendidikan yang disebut terakhir ini sudah menyediakan pendidikan tahap lebih tinggi, bahkan di beberapa dayah terdapat spesialisasi bidang kajian Islam. Oleh karena itu, dikenal misalnya “dayah tafsir’, yang khusus memberikan pengajian bidang tafsir al-qur’an, “dayah fiqih” untuk bidang hukum Islam, dan seterusnya.[1] Lembaga pendidikan Islam serupa juga berdiri di bagian lain di Melayu-Nusantara ini, yakni surau di Minangkabau dan pesantren di Jawa. Seperti halnya meunasah, surau dan pesantren berkembang menjadi pusat kebangkitan tradisi intelektual Islam.[2]
Konsisten dengan pengertian madrasah sebagai pusat kegiatan intelektual, bisa dikatakan di sini bahwa lembaga pendidikan tersebut telah menempati posisi sentral serta sekaligus menjadi substansi utama dari dinamika perkembangan dan kebangkitan intelektual Islam di dunia Melayu-Nusantara. Para ulama Melayu-Nusantara di abad ke-17, seperti Nur al-Din al-Raniri dan Abdur Rauf al-Sinkili –untuk hanya menyebut dua nama- telah menjadikan lembaga pendidikan yang ada sebagai basis sosialisasi pemikiran Islam neo-sufis yang dikedepankannya. Di lembaga ini, yang sepenuhnya didukung pihak kerajaan, mereka melahirkan sejumlah karya penting dalam berbagai bidang keislaman. Begitu pula di lembaga inilah para ulama lain di dunia Melayu-Nusantara berguru pada dua ulama terkemuka yang telah disebut di atas.[3] Jelasnya, lembaga pendidikan dalam sejarah Islam telah berperan penting dalam proses kebangkitan intelektual Islam, dan selanjutnya intensifikasi keislaman masyarakat Nusantara.
Begitu pula hal yang sama juga bisa dilihat di awal abad ke-20. Pada periode ini, kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan, atau setidaknya berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada periode inilah lembaga pendidikan Islam madrasah sebagaimana kita kenal dewasa ini mulai berdiri. Sistem madrasah didirikan sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di Jawa dan surau di Minangkabau.[4] Sistem pendidikan tradisional ini, bagi para tokoh Muslim saat itu, tidak lagi memadai bagi perkembangan sosial yang berlangsung di tengah masyarakat menyusul modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah. Dalam madrasah, tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.[5]
Demikianlah di Minangkabau, misalnya, kita mencatat berdirinya beberapa lembaga pendidikan bergaya modern yang mengambil bentuk pola madrasah. Di antara lembaga pendidikan tersebut adalah Sekolah Adabiyah di Padang, didirikan pada 1909 oleh Abdullah Ahmad. Sekolah ini merupakan Sekolah Dasar yang sejajar dengan HIS (Hollands Inlandsche School) milik pemerintah kolonial Belanda, kecuali bahwa di dalamnya terdapat mata pelajaran al Qur’an dan ajaran Islam. Sekolah selanjutnya adalah Sumatra Thawalib, yang didirikan berbasis Surau Jembatan Besi. Seperti halnya Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan maupun bidang-bidang lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[6] Sementara di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki 14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32 sekolah dasar 5 tahun.[7]
Dari perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah mengalami beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini, seperti terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang menjadi satu lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model madrasah ini didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem pendidikan modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan alam kemajuan.
MADRASAH DAN ISLAM DI INDONESIA : Sebuah Kajian Awal (bagian 3)
tinggalkan komentar »
Memasuki masa Orde Baru terdapat setidaknya dua kebijakan penting yang telah dilakukan Depag untuk mengatasi persoalan madrasah. Kebijakan pertama pada 1975, ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Isi SKB terutama berkisar pada pengakuan keberadaan madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pengelolaan Depdikbud, yakni SD, SMP dan SMU. SKB ini kemudian disusul pemberlakuan kurikulum 1975 yang mensayaratkan pengajaran mata pelajaran umum 70 % dan mata pelajaran agama Islam 30 %. Kebijakan selanjutnya pada 1994, di mana Depag memberlakukan kurikulum baru yang kemudian dikenal dengan “kurikulum 1994”. Berbeda dengan kurikulum 1975, kurikulum baru ini mensyaratkan penyelenggaraan sepenuhnya (100 %) kurikulum sekolah-sekolah Depdikbud.
Dua kebijakan di atas, lebih khususnya pada 1994, tentu saja memiliki makna penting. Kebijakan tersebut merupakan bentuk pengakuan yang semakin utuh terhadap keberadaan madrasah selama ini, yang cenderung ditempatkan pada posisi ‘kelas dua’, khususnya jika dibanding sekolah-sekolah umum. Dengan kebijakan ini, siswa-siswa madrasah diharapkan mampu bersaing dengan siswa-siswa sekolah umum. Namun konsisten dengan penjelasan sebelumnya, hal yang akan memperoleh penekanan di sini adalah sosial-politik kebijakan. Kebijakan tersebut tidak akan dilihat semata-mata dari komposisi dan jumlah mata pelajaran yang diberikan, di mana 30 % mata pelajaran Islam dihapus dari kurikulum dan diganti dengan mata pelajaran umum. Melainkan, ia dilihat dalam kaitan erat dengan perkembangan Islam di Indonesia masa Orde Baru. Ia mengetengahkan realitas yang jauh lebih kompleks, yang berbasis pada kondisi Islam secara umum. Untuk itu, penjelasan berikut ini adalah untuk memahami signifikansi sosial politik pemberlakuan kebijakan tersebut.
Mari kita mulai dengan yang pertama. Telah disinggung di atas, SKB merupakan bentuk awal pengakuan pemerintah secara formal terhadap pengelolaan madrasah oleh Depag. Dalam salah satu pasal pada SKB dinyatakan bahwa :
(1) Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersma-sama dengan Menteri Dalam Negeri.[1]
Dalam pernyataan tersebut tampak bahwa pengakuan terhadap eksistensi madrasah dan depag memperoleh penekanan kuat. SKB menjadi satu bentuk legitimasi politik terhadap upaya pengelolaan madrasah oleh Depag, dan sekaligus berarti penegasan pengakuan terhadap posisi Depag dalam struktur pemerintahan. Dari sini, menjadi jelas bahwa pembahasan tentang SKB penting mempertimbangkan perkembangan yang berlangsung di lingkungan Depag.
Sangat tepat tampaknya bahwa kata “pergumulan” (the struggle) dipilih B.J. Boland sebagai judul bukunya yang membahas tentang sejarah politik Islam pasca kemerdekaan.[2] Khusus berkaitan dengan Depag, Boland melihatnya sebagai bentuk artikulasi paling tepat dari politik Islam di Indonesia. Menurutnya, berdirinya Depag memebrikan dua hal penting : “menawarkan kemungkinan bagi agama khususnya Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat”, dan ia merupakan “jalan tengah antara negara sekuler dengan negara Islam”.[3] Dari pandangan Boland ini, bisa dikatakan bahwa Depag sejak berdirnya pada 3 Januari 1946 merupakan satu bentuk aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi penting. Hal paling uatam ditekankan di sini adalah ; perkembangan Depag –termasuk program yang dicanangkan- banyak berhubungan dengan konstelasi politik Islam secara umum. Maka dari persepsi inilah kebijakan SKB Tiga Menteri yang lebih banyak melibatkan Depag bisa dijelaskan.
Sebagaimana diakui banyak kalangan, pemberlakuan SKB di atas pada dasrnya didorong oleh kepentingan Depag dalam kerangka “pergumulan politik Islam” di atas. Pada masa itu, saat diberlakukannya SKB, Depag memang masih dihadapkan pada sejumlah persoalan yang berbasis pada “politik aliran”, meski dalam intensitas yang berbeda pada masa sebelumnya. Dalam konteks madrasah, hal ini bisa dilihat, misalnya, pada fakta bahwa Depag dihadapkan pada upaya Depdikbud untuk menjadikan madrasah berada di bawah pengelolaannya. Pada 1972, misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden (Kepres) No. 34 tentang “tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan”, di mana di dalamnya dikatakan ; “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan”.[4] Dalam keputusan tersebut tidak disebutkan tugas dan tanggung jawab Depag dalam pendidikan madrasah. Sehingga, bagi banyak kalangan di Depag, ini dilihat sebagai uapaya Depdikbud untuk menjadikan pendidikan di madrasah di bawah pengelolaannya. Lebih dari itu, keputusan itu juga dipahami sebagai indikasi kuat upaya Depdikbud untuk menghapuskan madrasah.[5]
Dilihat dari perspektif ini, jelas bahwa SKB Tiga Menteri di atas memiliki makna politis yang sangat berarti bagi Depag. Ia setidaknya merupakan langkah awal konsolidasi Depag baik di lingkungan internal maupun dalam hubungannya dengan instansi lain dalam pemerintahan Indonesia. Lebih dari itu, kebijakan tersebut juga merupakan wujud pengakuan terhadap keberadaan Depag serta lembaga pendidikan madrasah yang dikelolanya. Hal ini memang sejalan dengan fakta bahwa periode sekitar pemberlakuan SKB adalah waktu ketika Depag mengadakan pembenahan secara intensif. Mukti Ali, Menteri Agama saat itu banyak melakukan usaha-usaha ke arah itu. Beliau adalah Menteri Agama pertama di masa Orde Baru yang dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang berorientasi pada modernisasi.[6]
Bagi madrasah sendiri, SKB ini tentu saja membawa pengaruh penting. Pengaruh ini di antaranya adalah bahwa madrasah tidak hanya diakui sejajar dengan lembaga pendidikan lain di bawah Depdikbud, tapi juga terbuakanya ruang lebar bagi para lulusan madrasah untuk melanjutkan studi mereka ke perguruan tinggi umum. Hal ini selanjutnya menciptakan mobilitas sosial di kalangan Muslim santri yang sebelumnya lebih banyak terkonsentrasi di bidang-bidang sosial-keagamaan.[7] SKB telah mendorong proses intensif integrasi Islam dengan modernitas, khususnya diwakili keterlibatan muslim santri di bidang-bidang kehidupan modern yang secara tradisional asing dari kehidupan mereka. Jadi SKB bisa dikatakan sebagai bentuk dari satu upaya modernisasi madrasah oleh Depag.
MADRASAH DAN ISLAM DI INDONESIA : Sebuah Kajian Awal (bagian 4)
Dalam konteks yang lebih luas, semangat SKB ini memang sejalan dengan kecenderungan utama Islam Indonesia, di mana modernisasi merupakan isu paling menonjol, khususnya di kalangan intelektual muslim. Nurcholis Madjid, intelektual terkemuka Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa modernisasi, termasuk di bidang pendidikan, merupakan satu keharusan yang tidak lagi bisa ditawar-tawar. Modernisasi, yang dipahaminya sebagai rasionalisasi dan desakralisasi –bukan westernisasi- merupakan prasyarat mutlak bagi perkembangan dan kemajuan muslim Indonesia. Ia merupakan jalan yang harus diambil bagi masuknya Muslim terintegrasi dalam kehidupan modern.[1] Dalam konteks inilah, SKB Tiga Menteri memperoleh signifikansinya dalam perkembangan Islam di Indonesia masa Orde Baru. Kebijakan SKB sejalan dengan kecenderungan umum yang berlaku dalam Islam Indonesia.
Dalam kaitan ini, penting pula dikatakan bahwa sejauh menyangkut upaya Depag, usaha modernisasi pendidikan sebenarnya sudah lama dilakukan. Depag sudah sejak awal melakukan modernisasi madrasah dengan jalan memperkuat pengajaran pengetahuan umum modern. Ini di antaranya bisa dilihat pada upaya yang dilakukan Menteri Agama kedua, Kyai Fathurrahman Kafrawi (2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947). Sejalan dengan himbauan Ki Hajar Dewantara, Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan Nasional, ia menginstruksikan agar madrasah mengajarkan pengetahuan umum modern. Hal yang sama juga dilakukan Abdullah Sigit, Kepala Jawatan Pendidikan Agama (Japenda) Kementerian Agama (1950-1952). Ia pernah mengembangkan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) yang bertujuan memeprkuat basis pengetahuan umum para calon guru pengetahuan umum di madrasah.[2] Namun, dalam konteks sosio-politik saat itu tampaknya tidak begitu mendukung upaya modernisasi Depag. Baru pada tahun 1970-an, modernisasi pendidikan Islam di madrasah memperoleh momentumnya yang tepat. Dan SKB merupakan hasil dari proses tersebut.
Bila SKB Tiga Menteri mengedepankan semangat modernisasi, bagaimana dengan kurikulum 1994 ? Sekilas memang tampak bahwa yang paling menonjol dari kurikulum 1994 adalah penghapusan 30 % mata pelajaran agama yang diajarkan sejak pemberlakuan kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh lagi, istilah “penghapusan” tersebut tentunya tidak bisa dilihat semata-mata sebagai “meniadakan” mata pelajaran Islam di madrasah. Hal yang berlangsung pada dasarnya lebih merupakan “perumusan kembali” pemberian mata pelajaran Islam di madrasah. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata pelajaran secara formal, melainkan diintegrasikan sepenuhnya dalam mata pelajaran umum. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari upaya Depag belakangan ini untuk menyusun buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam. Diharapkan, beberapa mata pelajaran umum diberikan di madrasah dengan tetap mempertahankan nuansa Islam.[3]
Terlepas bagaimana buku panduan tersebut disusun, hal penting yang perlu dibahas di sini adalah bahwa kurikulum 1994 disusun berangkat dari hasrat merumuskan kembali materi keislaman dalam mata pelajaran madrasah. Hasrat perumusan ini tentu saja berhubungan erat dengan persoalan yang lebih fundamental, khususnya menyangkut hubungan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum atau sekuler”, dan lebih jauh lagi hubungan antara Islam dan modernitas. Harus diakui, memang kurikulum madrasah 1975 memunculkan satu persoalan mendasar, yakni dualisme “ilmu agama’ dan “ilmu umum”. Sejak awal para siswa madrasah sudah diperkenalkan pada perbedaan antara apa yang disebut “ilmu agama” –yakni mata pelajaran Islam yang 30%- dengan ilmu umum yang berjumlah 70%. Kondisi tampaknya kurang menguntungkan. Bukan saja lulusan madrasah tidak bisa menguasai secara utuh baik “ilmu agama” maupun “ilmu umum”, menjadi setengah-setengah.[4]
Lebih dari itu, hal tersebut memberi kesan kuat bahwa Islam terpisah dengan kehidupan duniawi. Islam, melalui mata pelajaran agama, dianggap tidak bersentuhan dengan kehidupan modern yang mensyaratkan penguasaan ilmu dan teknologi.
Dengan kurikulum 1994, dualisme “ilmu agama” dan “ilmu umum” di madrasah berusaha untuk dihilangkan. Madrasah diharapkan menyelenggarakan pelajaran yang mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Jadi unsur-unsur Islam dalam pendidikan di madrasah diberikan terintegrasi sepenuhnya dengan mata pelajaran umum. Di sini tidak akan dibahas implikasi teknis dari kurikulum 1994 itu. Hal penting yang akan menjadi perhatian adalah bagaimana hasrat merumuskan kembali materi keislaman di madrasah muncul di lingkungan Depag? Bila demikian, kondisi pendidikan madrasah menjadi penting diperhatikan. Hal itu setidaknya bisa memberi perspektif lebih jelas terhadap kemunculan kurikulum 1994.
Dalam konteks kurikulum 1994, apa yang dimaksud pembenahan tampaknya adalah spesialisasi pembelajaran di madrasah. Tekanan pembelajaran diberikan pada ilmu yang dipilih melalui jurusan-jurusan yang tersedia di madrasah. Jadi, siswa-siswa jurusan ilmu sosial, misalnya, diharpkan menguasai secara penuh seluk beluk ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu sosial. Begitu pula mereka yang hendak mendalami Islam dianjurkan untuk memilih jurusan yang sesuai dengan itu. Sehingga, kesan “setengah-setengah” pada lulusan madrasah seperti yang telah disinggung di atas bisa diminimalkan. Dengan demikian, argumen pokok pemberlakuan kurikulum 1994 bisa dikatakan sebagai bentuk pengembangan lebih lanjut atau penyempurnaan dari SKB di atas. Di sini, spesialisasi ilmu menjadi titik perhatian dari program pengembangan madrasah.
Upaya ini memang sangat beralasan. Jumlah madrasah yang senantiasa terus berkembang sekarang ini merupakan aset tersendiri bagi keberhasilan penyelenggaraan program nasional wajib belajar 6 tahun dan kini 9 tahun. Laporan tim Asian Development Bank (ADB) misalnya, mencatat bahwa madrasah Tsanawiyah (MTs) menyelenggarakan pendidikan untuk 17,4% (1.241.977 siswa) dari total siswa tingkat menengah pertama seluruh Indonesia. Ini merupakan suatu jumlah yang besar. Sementara itu, setelah hampir 12 tahun menerapkan SKB Tiga Menteri, madrasah belum banyak berubah. Para siswa madrasah tidak mampu bersaing dan memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi lanjutan terbaik yang berada di bawah Depdikbud. Akibatnya, seperti yang bisa diduga, alumni madrasah hampir sama seperti sebelumnya. Mereka masih tetap merupakan alumni yang berada pada strata marginal di sektor kehidupan modern.
Hal lain yang juga penting dijelaskan adalah bahwa sumber daya guru di madrasah masih merupakan persoalan krusial. Tim ADB menemukan tingkat pendidikan guru madrasah umumnya rendah. Untuk tingkat SLTP (MTs) misalnya, tingkat pendidikan guru yang berijazah SLTA mencapai 57%, padahal di SMP di bawah Depdikbud jumlah lulusan SLTA hanya 6%. Yang memprihatinkan lagi, dari jumlah tersebut 60% guru MTs bidang matematika, IPA dan bahasa Inggris adalah unqualified dan mismatched. Lulusan pendidikan agama dari IAIN misalnya mengajar bahasa Inggris. Kasus unqualified tersebut, menurut ADB sekitar 40-60% terjadi juga pada madrasah-madrasah yang oleh Depag dipandang sebagai madrasah model atau madrasah contoh. Lebih meprihatinkan lagi, tercatat bahwa 47% guru di madrasah negeri adalah guru paroh waktu (part time). Madrasah swasta, bahkan mencapi 87%. Ini terutama untuk bidang semacam IPA.
Oleh karena itu, kurikulum 1994 tersebut bertujuan meningkatkan mutu siswa madrasah. Depag nampaknya bertujuan menghapuskan atau mengurangi perbedaan dan kesenjangan antara sekolah umum Depdikbud dan madrasah, atau mengkonvergensikan keduanya. Selama ini, madrasah bisa dikatakan tempatnya siswa-siswa “kelas dua”, yang tidak kuat di bidang matematika, fisika, serta ilmu-ilmu umum lain yang telah lama menjadi garapan utama sekolah-sekolah Depdikbud. Keterlibatan alumni madrasah di sektor modern sampai sekrang umumnya dinilai masih marginal. Alasannya, mereka tidak memiliki basis kuat dalam pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang memang dibutuhkan dunia modern. Oleh karena itu, perbaikan mutu madrasah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Depag tampaknya menyadari sekali tentang hal tersebut, dan mereka karenanya terus berusaha melakukan pembaharuan.
Akhirnya, bisa dikatakan bahwa perkembangan madrasah memang tidak bisa dilihat terlepas dari perkembangan Islam di Indonesia secara umum. Di masa Orde Baru tsb, khususnya dengan kurikulum 1994, madrasah diharapkan bisa berkembang menjadi lembaga keilmuan yang menyelenggarakan pendidikan Islam secara profesional.
Madrasah Diniyah Sebagai Representasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.[1] Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya.
Pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic planning model atau engineering model yang memposisikan masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan yang berasal dari atas[2] Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan anak.
Paradigma berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri, yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program dan berpartisipasi sesuai dengan “ kapling “ yang disediakan oleh pemerintah.
Terlepas dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[3]
Partisipasi ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama masyarakat.[4] Pendidikan dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs) masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community- based education).
Pengertian tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[5]
Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat“ mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga (3) elemen yaitu :
1. Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat, karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan.
2. Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan.
3. Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar.[6]
Selanjutnya Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school -based education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi, biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis dan mengutamakan ijazah.[7]
Dari sini jelas terlihat bahwa sebenarnya madrasah diniyah sebagai pendidikan berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya madrasah diniyah dan pesantren biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan agama.
Kini dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan pesantren, madrasah diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya.
Madrasah oh Madrasah
Pengantar dari Zainal Muttaqien :
Sebelumnya saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada bapak Ahmad Baedowi jika saya telah lancang memuat artikel bapak di blog saya ini tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada bapak. Saya adalah penggemar tulisan-tulisan pak Ahmad Baedowi di situs resmi nya Kick Andy. Menurut saya artikel-artikel pendidikan yang beliau tulis dahsyat dan inspiring. Tulisan-tulisan tentang pendidikan tersebut beliau tampilkan dalam struktur kalimat sederhana, ringan namun tetap kritis, kontekstual dan mengajak pembacanya untuk merenung. Salahsatunya yang saya suka ialah tulisan beliau tentang madrasah seperti di bawah ini. Adapun judul yang saya tulis di postingan berupa “Madrasah oh Madrasah” hanya sekedar mendramatisir saja karena judul asli tulisan pak Ahmad Baedowi sebenarnya hanya “Madrasah”. Mudah-mudahan pak Ahmad Baedowi tidak berkeberatan artikelnya saya cantumkan di blog reot sini. Selamat membaca…..
*************
Madrasah
Oleh : Ahmad Baedowi
Dr. Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern menggambarkan dengan baik bagaimana heroisme peranserta masyarakat dalam membangun lembaga pendidikan berbasis masyarakat seperti madrasah dan pesantren. Seakan ada yang hilang, madrasah oleh pemerintah kolonial Belanda diposisikan sebagai sekolah kelas dua, tak bermasa depan serta melulu belajar agama dan diharamkan mempelajari ilmu umum. Politik ini jelas menandakan adanya dualisme dan keberpihakan pemerintah terhadap posisi madrasah. Bagi pemerintah Kolonial Belanda, tak mungkin madrasah mampu mengikuti pola pembelajaran seperti di sekolah umum, mengingat masyarakat madrasah dipandang tak mampu membangun dan mengembangkan sikap kritis karena fokus mereka melulu agama dan persoalan-persoalan ke-akhirat-an. Selain itu komunitas madrasah juga dipandang tak memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu-ilmu kontemporer yang berbasis sains dan teknologi. Bahkan dengan nada menyindir dan terkesan nyinyir, Steenbrik dalam penelitiannya menyebutkan bahwa desain politik pendidikan madrasah memang disengaja dalam rangka mempersiapkan lulusannya untuk menjadi pegawai negeri (white collar job) saja.
Selain itu komunitas madrasah juga selalu menyebarkan paradigma bahwa pendidikan umum jauh lebih mahal dari pendidikan agama. Saat itu bahkan para guru pendidikan umum kebanyakan bergaji lebih tinggi dari guru agama serta enggan untuk terjun ke daerah peloksok. Keadaan inilah yang salah satunya menyebabkan mengapa ketika masyarakat di daerah pedesaan mendirikan madrasah sering kesulitan mendapatkan guru mata pelajaran umum, karena tak mampu membayar gaji mereka. Pendek kata madrasah adalah potret gotong-royong keagamaan bermodalkan semangat, tapi didesain tanpa strategi yang jelas dan sistematis pada semua aspek kebutuhannya.
Posisi marginal ini terus bertahan hingga, paling tidak, sampai tahun 2003 ketika Pemerintah menetapkan posisi madrasah dalam satu kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan yang sejajar dan sederajat dengan sekolah umum sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian nampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh madrasah, karena secara birokratis keberadaan madrasah bukan di bawah Departemen Pendidikan Nasional, melainkan di bawah dan menjadi tanggungjawab Departemen Agama. Posisi dilematis ini entah dengan sengaja diciptakan atau tidak, tetapi semua bermula dari persoalan undang-undang desentralisasi yang mengamanatkan agar persoalan agama tidak termasuk hal yang harus didesentralisasikan. Madrasah tetap berada dalam perangkap dualisme lainnya, yaitu apakah masuk ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Jawaban sementara ini ada pada garis kebijakan dan strategi yang diterakan dalam Undang-undang Sisdiknas di atas.
Dalam pengamatan Edu, kegamangan karena posisi “in between” madrasah memang belum sepenuhya teratasi. Di jaman sebelum adanya UU Sisdiknas, misalnya, kurikulum madrasah adalah 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum. Pasca UU Sisdiknas posisinya malah terbalik, yaitu 70% kurikulumnya pendidikan umum dan 30% pendidikan agama. Perubahan ini sangat mengganggu struktur madrasah secara umum, sehingga dapat dibayangkan bagaimana lulusan madrasah jadinya. Padahal di jaman Orde Baru ketika Departemen Agama memberlakukan sekolah tingkat menengah seperti Pendidikan Guru Agama (PGA), para lulusannya memiliki keterampilan berbahasa Arab sangat baik. Bahkan di jaman Menteri Agama Munawir Syadzali, proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sebenarnya juga sangat menjanjikan. Seperti Departemen lainnya di Republik ini, tradisi ganti Menteri berubah kebijakan adalah hal yang juga berlangsung di Departemen Agama.
Dibutuhkan konsistensi dan strategi pengembangan madrasah yang fokus dan terarah. Edu percaya begitu banyak enerji dan kreativitas pada komunitas madrasah yag belum terjamah dengan perencanaan program yang baik. Bahkan dukungan masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama inipun seakan pergi entah kemana. Ketergantungan masyarakat madrasah terhadap pemerintah harus dikurangi, mengingat mayoritas madrasah memang milik masyarakat. Partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama ini harus menjadi prioritas untuk dibangun dan dikembangkan kembali.
Ingin menyimak langsung artikel beliau? silakan klik link berikut ini:
http://kickandy.com/friend/2010/01/03/1758/37/1/4/Madrasah
Dunia Guru, Madrasah dan Tulisan Sekedar
Memperbincangkan Kelembagaan Madrasah
dengan satu komentar
Pendahuluan
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren . Dengan karaktemya yang khas “religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh.
Eksistensi Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Problema Madrasah
Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu’in (1998), antara lain:
Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.
Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya.
Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).
Madrasah di Era Modern
Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan (Haedar Nashir, 1999) dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai ‘sapi perah’, madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.
Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma’had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi, 1970; Jalaluddin dan Said, 1996).
Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem pendidikan nasional.
Pendidikan moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4) telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat. Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4 berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971).
Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan.
Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan “Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya (Al-Abrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).
Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah
Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.
Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada program-program tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada.
Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan.
Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.
Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang.
Dradjat, Z. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.
Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.
Sternbrink. K.A. (1986). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Langganan:
Postingan (Atom)