NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH
BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973
Senin, 14 November 2011
Madrasah oh Madrasah
Pengantar dari Zainal Muttaqien :
Sebelumnya saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada bapak Ahmad Baedowi jika saya telah lancang memuat artikel bapak di blog saya ini tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada bapak. Saya adalah penggemar tulisan-tulisan pak Ahmad Baedowi di situs resmi nya Kick Andy. Menurut saya artikel-artikel pendidikan yang beliau tulis dahsyat dan inspiring. Tulisan-tulisan tentang pendidikan tersebut beliau tampilkan dalam struktur kalimat sederhana, ringan namun tetap kritis, kontekstual dan mengajak pembacanya untuk merenung. Salahsatunya yang saya suka ialah tulisan beliau tentang madrasah seperti di bawah ini. Adapun judul yang saya tulis di postingan berupa “Madrasah oh Madrasah” hanya sekedar mendramatisir saja karena judul asli tulisan pak Ahmad Baedowi sebenarnya hanya “Madrasah”. Mudah-mudahan pak Ahmad Baedowi tidak berkeberatan artikelnya saya cantumkan di blog reot sini. Selamat membaca…..
*************
Madrasah
Oleh : Ahmad Baedowi
Dr. Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern menggambarkan dengan baik bagaimana heroisme peranserta masyarakat dalam membangun lembaga pendidikan berbasis masyarakat seperti madrasah dan pesantren. Seakan ada yang hilang, madrasah oleh pemerintah kolonial Belanda diposisikan sebagai sekolah kelas dua, tak bermasa depan serta melulu belajar agama dan diharamkan mempelajari ilmu umum. Politik ini jelas menandakan adanya dualisme dan keberpihakan pemerintah terhadap posisi madrasah. Bagi pemerintah Kolonial Belanda, tak mungkin madrasah mampu mengikuti pola pembelajaran seperti di sekolah umum, mengingat masyarakat madrasah dipandang tak mampu membangun dan mengembangkan sikap kritis karena fokus mereka melulu agama dan persoalan-persoalan ke-akhirat-an. Selain itu komunitas madrasah juga dipandang tak memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu-ilmu kontemporer yang berbasis sains dan teknologi. Bahkan dengan nada menyindir dan terkesan nyinyir, Steenbrik dalam penelitiannya menyebutkan bahwa desain politik pendidikan madrasah memang disengaja dalam rangka mempersiapkan lulusannya untuk menjadi pegawai negeri (white collar job) saja.
Selain itu komunitas madrasah juga selalu menyebarkan paradigma bahwa pendidikan umum jauh lebih mahal dari pendidikan agama. Saat itu bahkan para guru pendidikan umum kebanyakan bergaji lebih tinggi dari guru agama serta enggan untuk terjun ke daerah peloksok. Keadaan inilah yang salah satunya menyebabkan mengapa ketika masyarakat di daerah pedesaan mendirikan madrasah sering kesulitan mendapatkan guru mata pelajaran umum, karena tak mampu membayar gaji mereka. Pendek kata madrasah adalah potret gotong-royong keagamaan bermodalkan semangat, tapi didesain tanpa strategi yang jelas dan sistematis pada semua aspek kebutuhannya.
Posisi marginal ini terus bertahan hingga, paling tidak, sampai tahun 2003 ketika Pemerintah menetapkan posisi madrasah dalam satu kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan yang sejajar dan sederajat dengan sekolah umum sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian nampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh madrasah, karena secara birokratis keberadaan madrasah bukan di bawah Departemen Pendidikan Nasional, melainkan di bawah dan menjadi tanggungjawab Departemen Agama. Posisi dilematis ini entah dengan sengaja diciptakan atau tidak, tetapi semua bermula dari persoalan undang-undang desentralisasi yang mengamanatkan agar persoalan agama tidak termasuk hal yang harus didesentralisasikan. Madrasah tetap berada dalam perangkap dualisme lainnya, yaitu apakah masuk ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Jawaban sementara ini ada pada garis kebijakan dan strategi yang diterakan dalam Undang-undang Sisdiknas di atas.
Dalam pengamatan Edu, kegamangan karena posisi “in between” madrasah memang belum sepenuhya teratasi. Di jaman sebelum adanya UU Sisdiknas, misalnya, kurikulum madrasah adalah 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum. Pasca UU Sisdiknas posisinya malah terbalik, yaitu 70% kurikulumnya pendidikan umum dan 30% pendidikan agama. Perubahan ini sangat mengganggu struktur madrasah secara umum, sehingga dapat dibayangkan bagaimana lulusan madrasah jadinya. Padahal di jaman Orde Baru ketika Departemen Agama memberlakukan sekolah tingkat menengah seperti Pendidikan Guru Agama (PGA), para lulusannya memiliki keterampilan berbahasa Arab sangat baik. Bahkan di jaman Menteri Agama Munawir Syadzali, proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sebenarnya juga sangat menjanjikan. Seperti Departemen lainnya di Republik ini, tradisi ganti Menteri berubah kebijakan adalah hal yang juga berlangsung di Departemen Agama.
Dibutuhkan konsistensi dan strategi pengembangan madrasah yang fokus dan terarah. Edu percaya begitu banyak enerji dan kreativitas pada komunitas madrasah yag belum terjamah dengan perencanaan program yang baik. Bahkan dukungan masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama inipun seakan pergi entah kemana. Ketergantungan masyarakat madrasah terhadap pemerintah harus dikurangi, mengingat mayoritas madrasah memang milik masyarakat. Partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama ini harus menjadi prioritas untuk dibangun dan dikembangkan kembali.
Ingin menyimak langsung artikel beliau? silakan klik link berikut ini:
http://kickandy.com/friend/2010/01/03/1758/37/1/4/Madrasah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar