NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH
BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973
Senin, 14 November 2011
MADRASAH DAN ISLAM DI INDONESIA : Sebuah Kajian Awal (bagian 2)
tinggalkan komentar »
Dengan demikian, abad ke-17 bisa disebut sebagai masa mulai berdirinya lembaga pendidikan Islam yang dalam beberapa hal penting merupakan cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam madrasah. Pada masa kerajaan Aceh, khususnya sejak masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, telah berdiri lembaga pendidikan meunasah (kemungkinan berasal dari kata bahasa Arab; “madrasah”), rangkang dan dayah. Meunasah (atau binasah) awalnya merupakan tempat ibadat yang sekaligus digunakan untuk pengajian anak-anak, khususnya belajar membaca al-Qur’an dan ajaran dasar Islam. Dari meunasah ini, mereka yang akan melanjutkan belajar Islam pergi ke rangkang, yang lebih besar dai meunasah, dan selanjutnya ke dayah. Lembaga pendidikan yang disebut terakhir ini sudah menyediakan pendidikan tahap lebih tinggi, bahkan di beberapa dayah terdapat spesialisasi bidang kajian Islam. Oleh karena itu, dikenal misalnya “dayah tafsir’, yang khusus memberikan pengajian bidang tafsir al-qur’an, “dayah fiqih” untuk bidang hukum Islam, dan seterusnya.[1] Lembaga pendidikan Islam serupa juga berdiri di bagian lain di Melayu-Nusantara ini, yakni surau di Minangkabau dan pesantren di Jawa. Seperti halnya meunasah, surau dan pesantren berkembang menjadi pusat kebangkitan tradisi intelektual Islam.[2]
Konsisten dengan pengertian madrasah sebagai pusat kegiatan intelektual, bisa dikatakan di sini bahwa lembaga pendidikan tersebut telah menempati posisi sentral serta sekaligus menjadi substansi utama dari dinamika perkembangan dan kebangkitan intelektual Islam di dunia Melayu-Nusantara. Para ulama Melayu-Nusantara di abad ke-17, seperti Nur al-Din al-Raniri dan Abdur Rauf al-Sinkili –untuk hanya menyebut dua nama- telah menjadikan lembaga pendidikan yang ada sebagai basis sosialisasi pemikiran Islam neo-sufis yang dikedepankannya. Di lembaga ini, yang sepenuhnya didukung pihak kerajaan, mereka melahirkan sejumlah karya penting dalam berbagai bidang keislaman. Begitu pula di lembaga inilah para ulama lain di dunia Melayu-Nusantara berguru pada dua ulama terkemuka yang telah disebut di atas.[3] Jelasnya, lembaga pendidikan dalam sejarah Islam telah berperan penting dalam proses kebangkitan intelektual Islam, dan selanjutnya intensifikasi keislaman masyarakat Nusantara.
Begitu pula hal yang sama juga bisa dilihat di awal abad ke-20. Pada periode ini, kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan, atau setidaknya berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada periode inilah lembaga pendidikan Islam madrasah sebagaimana kita kenal dewasa ini mulai berdiri. Sistem madrasah didirikan sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di Jawa dan surau di Minangkabau.[4] Sistem pendidikan tradisional ini, bagi para tokoh Muslim saat itu, tidak lagi memadai bagi perkembangan sosial yang berlangsung di tengah masyarakat menyusul modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah. Dalam madrasah, tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.[5]
Demikianlah di Minangkabau, misalnya, kita mencatat berdirinya beberapa lembaga pendidikan bergaya modern yang mengambil bentuk pola madrasah. Di antara lembaga pendidikan tersebut adalah Sekolah Adabiyah di Padang, didirikan pada 1909 oleh Abdullah Ahmad. Sekolah ini merupakan Sekolah Dasar yang sejajar dengan HIS (Hollands Inlandsche School) milik pemerintah kolonial Belanda, kecuali bahwa di dalamnya terdapat mata pelajaran al Qur’an dan ajaran Islam. Sekolah selanjutnya adalah Sumatra Thawalib, yang didirikan berbasis Surau Jembatan Besi. Seperti halnya Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan maupun bidang-bidang lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[6] Sementara di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki 14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32 sekolah dasar 5 tahun.[7]
Dari perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah mengalami beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini, seperti terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang menjadi satu lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model madrasah ini didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem pendidikan modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan alam kemajuan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar