NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH
BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973
Senin, 14 November 2011
Madrasah, Menanti Fajar Menyingsing (bag. 3)
dengan satu komentar
Menurut Firdaus, beasiswa S2 yang kini berjalan hanya pada 15 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Guru mata pelajaran umum; matematika, fisika,biologi, kimia, dan bahasa Inggris, ditampung di IPB, ITB, UGM, ITS, UI, UNM, UPI. Sedang guru mata pelajaran agama ditempatkan di UIN Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Makasar, IAIN Surabaya, dan Semarang.
Bagi 675 guru yang kini sedang menjalani studi S2 di beberapa perguruan tinggi di atas, Depag menanggung seluruh biaya pendidikan dan insentif living cost 1.250 ribu per bulan. Firdaus mencontohkan, seorang guru fisika yang mengikuti program S2 jurusan fisika di ITB akan sangat bangga dan percaya percaya diri bila kembali ke madrasahnya. Tentu apa yang dikatakan Direktur Madrasah ini belum seberapa bila dibanding kebutuhan di lapangan. Bahrul Hayat, Sekjend Depag saat ini, pernah mengungkapkan di depan DPR bahwa madrasah-madrasah yang berstatus swasta (91,5%) ini dirundung berbagai kekurangan, antara lain sarana, prasarana maupun guru-guru yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran di madrasah sebagian besar dilaksanakan oleh guru-guru honorer (non PNS) dengan kualifikasi pendidikan rata-rata di bawah S1 dan mengajar bidang studi yang kurang/tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Jumlah guru non-PNS yang bertugas di berbagai jenjang madrasah seluruhnya sebanyak 532.215 yang terdiri dari, guru kontrak sebanyak 16.044, guru yayasan sebanyak 312.890, dan guru BP3/Komite madrasah sebanyak 103.281. Sedangkan jumlah guru madrasah berdasarkan kualifikasi pendidikan sebanyak 150.719 tingkat SLTA ke bawah (30,41%), 23.222 tingkat D1 (7,49%), 100.908 tingkat D2 (16,06%, 57.163 tingkat D3 (9,10%), dan 232.215 tingkat S1 (36.95%).
Menurut Bahrul Hayat, kekurangan guru tahun 2006 untuk MTs sebanyak 11.886 guru yang didominasi oleh guru-guru untuk bidang studi Bahasa Indonesia sebanyak 1.129 orang, Matematika (347), Bahasa Arab (5.022), Muatan Lokal (6.253), Bimbingan dan Penyuluhan (11.641). Dalam kesempatan itu, Bahrul Hayat juga mengingatkan masih adanya perlakuan beberapa pemerintah daerah yang berbeda terhadap guru madrasah dan guru pendidikan agama di sekolah dalam memberikan tunjangan/insentif bagi guru, baik negeri maupun swasta.
Lebih dari itu, kompetensi kepala madrasah juga tak bisa dikesampingkan begitu saja. Drs Mahfudh Djunaidi MA, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang menengarai maju mundurnya madrasah sepenuhnya tergantung pada penyelenggara pendidikan madrasah. Utamanya kepala madrasah sebagai pemimpin tertingginya. Jika madrasah dipimpin oleh seorang kepala yang berkompeten dan profesional, niscaya madrasah akan maju. Sebaliknya, jika madrasah dipimpin kepala yang tidak berkualitas, tidak memiliki kompetensi dan tidak profesional, niscaya madrasah akan selalu dalam ketidakberdayaan dan kalah dalam persaingan antarlembaga pendidikan yang kian bertambah ketat.
Pertama, perihal manajemen. Dalam konteks ini kemampuan kepala madrasah masih jauh dari harapan. Mayoritas mereka masih belum cakap dan terampil dalam pengelolaan pendidikan. Jelasnya, mereka kurang paham perihal manajemen kurikulum, manajemen keuangan sekolah, manajemen administrasi sekolah, dan lain-lain.
Kedua, perihal kurikulum. Mayoritas kepala madrasah dalam penguasaan kurikulum juga masih amatir. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak paham hakikat kurikulum dan pengembangannya. Mereka tidak berkemampuan mengarahkan tenaga pendidik untuk menyusun rencana dan program pelaksanaan kurikulum. Mereka pun tidak memiliki kompetensi dalam pengidentifikasian kebutuhan dan pengembangan kurikulum terutama yang lokal. Di antara mereka bahkan tidak berkemampuan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum. Karena itu, sekarang banyak kepala madrasah yang tidak paham tentang kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Ketiga, perihal kemampuan berkreasi dan berinovasi. Kemampuan berkreasi dan berinovasi kepala madrasah pada umumnya jauh dari kepala sekolah umum. Kemampuannya bahkan jauh dari memadai. Sulit kita temukan kepala madrasah yang berdaya kreasi dan inovasi tinggi dalam pengembangan madrasah, baik dalam pengembangan kurikulum, penggalian dana, maupun perlengkapan sarana dan prasarana madrasah. Rata-rata para kepala madrasah kurang giat mencari terobosan-terobosan baru.
Itulah potret realitas kualitas kepala madrasah. Menurut Mahfudh, demi kemajuan madrasah, Depag harus proaktif dan responsif dengan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus bagi kepala madrasah dan sebagainya. Dan bila seorang kepala madrasah tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan kompetensi, demi kemajuan madrasah, selayaknya diganti oleh figur lain yang lebih cerdas, profesional dan kompeten.
Demikianlah centang perenang persoalan yang menjerat lembaga pendidikan berciri khas Islam ini. Firdaus Basyuni mengungkapkan bahwa madrasah dibangun oleh masyarakat dengan semangat saja, supaya mereka bisa menyekolahkan anaknya dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Karena itu, biarpun muridnya sedikit jarang madrasah yang gulung tikar. Karena biaya yang rendah sehingga susah mendapatkan guru yang berkualitas.
Jadi masyarakat berpikir, bagaimana anak mereka bisa bersekolah. Yang mengajar kalaupun tidak ada yang sarjana, siapapaun boleh. Yang penting proses belajar mengajar berjalan.
Tapi mungkin setelah mengajar guru tersebut harus bekerja di tempat lain untuk bisa menutupi kebutuhan ekonomi mereka. Melihat kenyataan seperti itu, menurut Firdaus kita sebenarnya tidak perlu cemas. Biarpun tanpa bantuan dan honor seadanya saja madrasah tetap bisa survive, sehingga bila mereka mendapatkan “sentuhan” atau sedikit bantuan saja pasti semangat mereka akan jauh lebih maju.
Firdaus saat ini tengah berpikir, bagaimana madrasah bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun semangat dan partisipasi masyarakatnya tetap tak terkurangi. Hingga akhirnya, madrasah makin menyinari masyarakat di sekitarnya.[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar