NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH

BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973

Senin, 14 November 2011

Madrasah Diniyah Sebagai Representasi Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.[1] Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya. Pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic planning model atau engineering model yang memposisikan masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan yang berasal dari atas[2] Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan anak. Paradigma berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri, yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program dan berpartisipasi sesuai dengan “ kapling “ yang disediakan oleh pemerintah. Terlepas dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[3] Partisipasi ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama masyarakat.[4] Pendidikan dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs) masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community- based education). Pengertian tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[5] Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat“ mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga (3) elemen yaitu : 1. Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat, karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan. 2. Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan. 3. Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar.[6] Selanjutnya Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school -based education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi, biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis dan mengutamakan ijazah.[7] Dari sini jelas terlihat bahwa sebenarnya madrasah diniyah sebagai pendidikan berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya madrasah diniyah dan pesantren biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan agama. Kini dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan pesantren, madrasah diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar