NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH
BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973
Senin, 14 November 2011
MADRASAH DAN ISLAM DI INDONESIA : Sebuah Kajian Awal (bagian 3)
tinggalkan komentar »
Memasuki masa Orde Baru terdapat setidaknya dua kebijakan penting yang telah dilakukan Depag untuk mengatasi persoalan madrasah. Kebijakan pertama pada 1975, ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Isi SKB terutama berkisar pada pengakuan keberadaan madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pengelolaan Depdikbud, yakni SD, SMP dan SMU. SKB ini kemudian disusul pemberlakuan kurikulum 1975 yang mensayaratkan pengajaran mata pelajaran umum 70 % dan mata pelajaran agama Islam 30 %. Kebijakan selanjutnya pada 1994, di mana Depag memberlakukan kurikulum baru yang kemudian dikenal dengan “kurikulum 1994”. Berbeda dengan kurikulum 1975, kurikulum baru ini mensyaratkan penyelenggaraan sepenuhnya (100 %) kurikulum sekolah-sekolah Depdikbud.
Dua kebijakan di atas, lebih khususnya pada 1994, tentu saja memiliki makna penting. Kebijakan tersebut merupakan bentuk pengakuan yang semakin utuh terhadap keberadaan madrasah selama ini, yang cenderung ditempatkan pada posisi ‘kelas dua’, khususnya jika dibanding sekolah-sekolah umum. Dengan kebijakan ini, siswa-siswa madrasah diharapkan mampu bersaing dengan siswa-siswa sekolah umum. Namun konsisten dengan penjelasan sebelumnya, hal yang akan memperoleh penekanan di sini adalah sosial-politik kebijakan. Kebijakan tersebut tidak akan dilihat semata-mata dari komposisi dan jumlah mata pelajaran yang diberikan, di mana 30 % mata pelajaran Islam dihapus dari kurikulum dan diganti dengan mata pelajaran umum. Melainkan, ia dilihat dalam kaitan erat dengan perkembangan Islam di Indonesia masa Orde Baru. Ia mengetengahkan realitas yang jauh lebih kompleks, yang berbasis pada kondisi Islam secara umum. Untuk itu, penjelasan berikut ini adalah untuk memahami signifikansi sosial politik pemberlakuan kebijakan tersebut.
Mari kita mulai dengan yang pertama. Telah disinggung di atas, SKB merupakan bentuk awal pengakuan pemerintah secara formal terhadap pengelolaan madrasah oleh Depag. Dalam salah satu pasal pada SKB dinyatakan bahwa :
(1) Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersma-sama dengan Menteri Dalam Negeri.[1]
Dalam pernyataan tersebut tampak bahwa pengakuan terhadap eksistensi madrasah dan depag memperoleh penekanan kuat. SKB menjadi satu bentuk legitimasi politik terhadap upaya pengelolaan madrasah oleh Depag, dan sekaligus berarti penegasan pengakuan terhadap posisi Depag dalam struktur pemerintahan. Dari sini, menjadi jelas bahwa pembahasan tentang SKB penting mempertimbangkan perkembangan yang berlangsung di lingkungan Depag.
Sangat tepat tampaknya bahwa kata “pergumulan” (the struggle) dipilih B.J. Boland sebagai judul bukunya yang membahas tentang sejarah politik Islam pasca kemerdekaan.[2] Khusus berkaitan dengan Depag, Boland melihatnya sebagai bentuk artikulasi paling tepat dari politik Islam di Indonesia. Menurutnya, berdirinya Depag memebrikan dua hal penting : “menawarkan kemungkinan bagi agama khususnya Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat”, dan ia merupakan “jalan tengah antara negara sekuler dengan negara Islam”.[3] Dari pandangan Boland ini, bisa dikatakan bahwa Depag sejak berdirnya pada 3 Januari 1946 merupakan satu bentuk aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi penting. Hal paling uatam ditekankan di sini adalah ; perkembangan Depag –termasuk program yang dicanangkan- banyak berhubungan dengan konstelasi politik Islam secara umum. Maka dari persepsi inilah kebijakan SKB Tiga Menteri yang lebih banyak melibatkan Depag bisa dijelaskan.
Sebagaimana diakui banyak kalangan, pemberlakuan SKB di atas pada dasrnya didorong oleh kepentingan Depag dalam kerangka “pergumulan politik Islam” di atas. Pada masa itu, saat diberlakukannya SKB, Depag memang masih dihadapkan pada sejumlah persoalan yang berbasis pada “politik aliran”, meski dalam intensitas yang berbeda pada masa sebelumnya. Dalam konteks madrasah, hal ini bisa dilihat, misalnya, pada fakta bahwa Depag dihadapkan pada upaya Depdikbud untuk menjadikan madrasah berada di bawah pengelolaannya. Pada 1972, misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden (Kepres) No. 34 tentang “tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan”, di mana di dalamnya dikatakan ; “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan”.[4] Dalam keputusan tersebut tidak disebutkan tugas dan tanggung jawab Depag dalam pendidikan madrasah. Sehingga, bagi banyak kalangan di Depag, ini dilihat sebagai uapaya Depdikbud untuk menjadikan pendidikan di madrasah di bawah pengelolaannya. Lebih dari itu, keputusan itu juga dipahami sebagai indikasi kuat upaya Depdikbud untuk menghapuskan madrasah.[5]
Dilihat dari perspektif ini, jelas bahwa SKB Tiga Menteri di atas memiliki makna politis yang sangat berarti bagi Depag. Ia setidaknya merupakan langkah awal konsolidasi Depag baik di lingkungan internal maupun dalam hubungannya dengan instansi lain dalam pemerintahan Indonesia. Lebih dari itu, kebijakan tersebut juga merupakan wujud pengakuan terhadap keberadaan Depag serta lembaga pendidikan madrasah yang dikelolanya. Hal ini memang sejalan dengan fakta bahwa periode sekitar pemberlakuan SKB adalah waktu ketika Depag mengadakan pembenahan secara intensif. Mukti Ali, Menteri Agama saat itu banyak melakukan usaha-usaha ke arah itu. Beliau adalah Menteri Agama pertama di masa Orde Baru yang dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang berorientasi pada modernisasi.[6]
Bagi madrasah sendiri, SKB ini tentu saja membawa pengaruh penting. Pengaruh ini di antaranya adalah bahwa madrasah tidak hanya diakui sejajar dengan lembaga pendidikan lain di bawah Depdikbud, tapi juga terbuakanya ruang lebar bagi para lulusan madrasah untuk melanjutkan studi mereka ke perguruan tinggi umum. Hal ini selanjutnya menciptakan mobilitas sosial di kalangan Muslim santri yang sebelumnya lebih banyak terkonsentrasi di bidang-bidang sosial-keagamaan.[7] SKB telah mendorong proses intensif integrasi Islam dengan modernitas, khususnya diwakili keterlibatan muslim santri di bidang-bidang kehidupan modern yang secara tradisional asing dari kehidupan mereka. Jadi SKB bisa dikatakan sebagai bentuk dari satu upaya modernisasi madrasah oleh Depag.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar