NEVER FORGET TO SAY LAILAHA ILLOH

BANGUNAN ASAL MADRASAH DARUN NAJAH YANG MASIH KOKOH SEJAK TAHUN 1973

Minggu, 01 September 2013

Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur

Penulis : KH. Husein Muhammad Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan : I, 2012 Tebal : xviii + 164 halaman ISBN : 979-25-5381-9 Bagaimana membaca sepak terjang Gus Dur yang sepertinya tak terbentuk, sehingga sebagaian kalangan menyebutnya The Drunken Mastes van Indonesia? Banyak yang telah membahas spectrum atau dimensi sepak terjang yang sedemikian luas. Apakah sumber yang menyebabkan Beliau bisa bergerak sedemikian? Demikian Alisa Wahid, putri Gus Dur, memberikan pengantar dalam Buku ini (Sang Zahid). Tak dipungkiri, Gus Dur memang sosok yang unik. Banyak penyematan nama yang orang lain berikan kepada Beliau. Penyematan nama yang begitu beragam tak lepas dari sepak terjang Gus Dur dalam bergumul dengan sisi kemanusiaan, entah itu siapa, kalangan mana. Sekat batas atas nama golongan, etnis, agama, bahkan individu yang sekelas teri pun Gus Dur diretasnya. Sehingga, tatkala Gus Dur wafat banyak kalangan yang menangisi. Setelah kepulangannya (wafat) begitu beragam organisasi keagamaan, kemasyarakatan yang memperingati. Banyak kalangan yang mencoba memotret Gus Dur dari segi kenegarawananya, keulamaannya, keberpihakan terhadap masyarakat yang terkucil atau sedang dikucilkan. Namun, potret yang parsial tersebut hanya menambah kebingungan, karena beragamnya pandangan dan keluasan sepak tejang Gus Dur, siapa tho sebenarnya Gus Dur itu? Begitu pula, buku yang menganalisi dari sisi gelar-gelar yang disematkan rasanya tak mencukupi untuk mendedah: apa yang menjadikan Gus Dur unik bahkan kontreversial untuk masa kini namun cocok dengan masa mendatang? KH. Husein Muhammad melalui bukunya “Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, membawa cara baru mengeksplorasi sosok Gus Dur. Menurut KH. Husein Muhammad jiwa kesufian Gus Dur-lah yang menjadikan sepak terjangnya melampui batas-batas yang selama ini dianggap risih dan mengancam kewibawaan. Melalui buku “Sang Zahid” pula, KH.Husein Muhammad mencoba menghubungkan sufisme Gus Dur dengan para sufi besar lain yang melegenda, menguasai, mempengaruhi atau menginspirasi pikiran dan kebudayaan di dunia sampai hari ini, meski telah berjuta hari dan beribu tahun berlalu. Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi SAW; “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu.” Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak disetujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus Dur membela dan terus menemani mereka. Ia membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna lain. Keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai, tak bisa diberi tanda. Pikiran dan hati adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Ia dapat mengelana ke mana-mana. Karena burung itu bisa naik-turun, belok kanan-kiri, maka ia sulit ditangkap. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi; “Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus kali rekayasa berkeringat.” Sebab pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak kan menghasilkan apa-apa, tindakan sia-sia kecuali menimbulkan sakit hati, luka dan menghambat krativitas (hal. 57). Maka kebhinekaan realitas alam semesta seharusnya tidak menghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa, dan kehendak-kehendak manusia yang lainna. Para sufi memandang alam semesta beragam dan seluruhnya mengandung keindahan sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan keagungan-Nya di alam semesta. Inilah pluralisme yang tak bisa dipungkiri dan hanya bisa barengi dengan laku toleransi. Para sufi merupakan manusia yang toleran meski banyak tentangan dari pihak lain. Masih banyak gagasan Gus Dur yang kecil-kecil, yang tak terliput oleh orang banyak semisal keseharian beliau sebagai bapak dari seorang anak, suami dari seorang istri, bahkan sesama teman yang menunjukkan, mengarahkan bahwa kehidupannya cenderung sufis. Karya-karya klasik para sufi yang diperoleh sewaktu nyantri maupun hasil pembacaan sendiri yang akhirnya membentuk sikap mental, kejiwaan Gus Dur menjadi sosok yang unik, berani, kontreversial, dan humoris. Gus Dur adalah seorang pengembara dan jiwa pengembara biasanya dimiliki kaum sufi. Pengembaraannya inilah yang menjadikan Gus Dur sering menjadi subjek yang aneh, asing, dicurigai, bahkan dimusuhi oleh mereka yang tak paham dengan jalan pikirannya. Bahkan seringkali dicap “nyleneh” atau boleh jadi “orang gila”. Tetapi berbagai sebutan, cap, oloka-olokan bahkan pujian yang agung tidaklah menjadikan sang pengembara surut meneruskan perjuangannya. Sebab, di mata sang sufi berbagai ornament keduniawian sifatnya sementara, semua hanyalah fana, tak kekal. Sang sufi akan terus berjalan menuju kehariban Sang Maha Pecinta dengan keagungan gelar yang tergambarkan. Buku ini menjadi menarik sebab mencoba melihat jalan pikirannya Gus Dur dari sisi kesufian. Sedangkan kesufiaannya Gus Dur tak lepas dari hasil “belajar” kitab-kitab klasik tradisionil. Inilah yang meneguhkan kalau Gus Dur tidak lupa dengan akar kepribadiannya, sebagai sosok kalangan pesantren. Peresensi: Khoirul Anwar Aktivis Kolong Bumi, pernah mengikuti Kelas Gusdurian Yogyakarta angkatan I, dan sekarang tinggal di Yogyakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/06/19/285/824166/redirect#sthash.RBTQf3lI.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar